Adakalanya manusia terjebak dalam rutinitas, dan menganggap bahwa yang ia lakukan adalah hal yang monoton, itu-itu saja, tidak ada kemajuan atau apapun itu. Bisa jadi memang seperti itu, jika kita tidak mencoba untuk mencari sesuatu yang baru atau pembelajaran yang mungkin bisa kita dapatkan dari rutinitas yang kita lalui.
Seperti posisiku di tempat kerja dalam beberapa waktu terakhir ini. Kalau tidak di posisi penyerahan obat pada pasien, atau cek akhir order resep. Ingin berbagi tentang posisiku di penyerahan obat. Posisi ini harus diisi oleh apoteker.
Bagiku, posisi ini memungkinkan untuk bertemu dengan banyak
orang, yang artinya bisa mendapatkan banyak hikmah juga tentunya. Terutama
masalah komunikasi, mengenali berbagai tipe pasien, lebih termotivasi untuk
mendalami mengenai farmasi klinis,serta butuh ketelitian juga kecepatan dalam
analisa resep. Intinya sih cukup full pressure. Hehe. Tapi ya dijalani saja
ya..
Banyak kejadian yang kucatat ketika aku menyerahkan obat
pada pasien. Dari hal yang kecil. Misal seperti ini. Aku punya teori baru,
bahwa seorang ayah itu biasanya tidak terlalu mengingat tanggal lahir anaknya, beda dengan seorang ibu yang biasanya
hafal sekali tanggal lahir anaknya. Lho? Kok malah ke urusan tanggal lahir?
Hehe.. Ada hubungannya kok.. Ketika menyerahkan obat, harus dilakukan
identifikasi pasien, agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat dan untuk
pasien safety. Nah, identifikasi pasien ini bisa dilakukan dengan cara
menanyakan tanggal lahir pasien atau nomor rekam medis pasien. Tanggal lahir
atau nomor rekam medis pasien bersifat khas, sehingga bisa dijadikan sebagai
alat identifikasi pasien. Aku lebih memilih untuk menanyakan tanggal lahir ketimbang
nomor medrec, karena biasanya pasien tidak ingat nomor medrecnya. Untuk pasien
dari poli anak, biasanya aku bertanya pada orangtuanya (ayah atau ibunya)
tanggal lahir anaknya. Biasanya nih, kalau ayahnya yang mengambil obatnya,
ketika kutanya, “Mohon maaf, Pak, bisa
tolong disebutkan tanggal lahir anaknya?”, sang ayah tersebut akan diam
sejenak untuk mengingat-ingat tanggalnya sambil senyum-senyum. Hehe. Beda kalau
ibunya yang mengambil obat dan kutanya hal yang sama, ibu tersebut akan segera
menjawab dengan pasti tanpa berfikir dulu biasanya. Ini sudah kusurvei untuk
cukup banyak pasien lho.. Hehe. Walaupun ada juga ayah yang sangat hafal
tanggal lahir anaknya. Dan kuberi reward dalam hati dan kucatat, ”Wah,, subhanallah, ayah teladan”..
Hehe..
Itu tentang teori yang kudapat.
Ada lagi yang bisa buat mati gaya. Hadeh. .
Suatu saat aku menyerahkan obat pada seorang pemuda usia 27
tahunan, dari dokter rehab medis. Ya seperti biasa, aku melakukan identifikasi
pasien, lalu menjelaskan mengenai obat-obat yang ia peroleh. Mengenai aturan
pakai, efek samping yang mungkin timbul, apa saja yang harus ia perhatikan
ketika mengonsumsi obatnya, dll. Ketika di akhir penjelasanku, aku bertanya
padanya, “Ada yang kurang jelas atau ingin ditanyakan, Mas?”, ia tersenyum
sambil berkata, “Saya mau tanya, tapi
bukan tentang obat-obat saya, boleh Mbak?”. Oh, mungkin tentang obat punya
keluarganya, atau siapanya kali ya, pikirku. Kujawab, “Boleh Mas, silakan”. Pertanyaannya yang buat aku mati gaya karena
tidak menyangka kalau pertanyaannya ternyata random.. Mas itu bertanya, “Mbak bulu matanya pake bulu mata palsu
bukan?”. Ini gubrak.com!!!!!! Calm, Inggi.. Setelah kukuasai diri, barulah
aku menjawab, “Bukan Mas, Alhamdulillah
ini asli, pemberian Allah.. “. Dan ia menjawab, “Oh.. subhanallah, bagus soalnya...”. Dan aku tidak berkata apa-apa
lagi, selain senyum saja. Masnya ini ada-ada aja.. Pantesan dari tadi saat kujelaskan
tentang obat-obatnya, ia senyum-senyum aja. Ups! Eh, ga boleh gitu,, siapa tau
emang masnya itu ramah dan suka senyum.. Istighfar...Istighfar.. Hehe.. Maaf ya
Mas...
Ada lagi, saat aku sedang di depan, melihat antrian di
komputer, ada seorang dokter yang menghampiriku. Kupikir, mungkin dokter
tersebut mau membeli obat. Ternyata, saat ia mendekat, ia hanya berkata, “Rumah sakit itu tempat penyebaran penyakit.
Kalau daya tahan tubuh sedang turun pake masker yaa..” Dan setelah itu ia
pun berlalu meninggalkanku yang hanya diam terpaku mendengarnya. Hehe. Kujawab
saja meskipun ia sudah tidak ada di hadapanku. “Iya, dok..”.. Hehe.
Itu mati gaya..
Ketika aku menyerahkan obat untuk pasien penyakit kronis,
seperti diabetes atau jantung, jadi mengingatkan diri sendiri untuk lebih
menjaga keshatan dan banyak bersyukur. Pernah menyerahkan obat pasien diabetes,
seorang bapak berusia 72 tahun. Seabrek obatnya, obat oral dan injeksi insulin
yang jumlahnya hampir 10 pen insulin. Kutanyakan pada bapak tersebut, “Bapak sudah biasa menggunakan obat-obat
ini?”, dan ia menjawab, “Sudah Nak,
sudah hampir 7 tahun”, dan ia tetap tersenyum. Masya Allah.. Aku tidak bisa
membayangkan setiap hari, setiap pagi, siang, sore dan malam, ia menyuntikkan
insulin ke dalam tubuhnya sekian unit, selama 7 tahun terakhir ini? Ah, semoga
Allah memberi bapak itu kesabaran dan kekuatan dalam menjalani pengobatannya.
Semangat bapak! :)
Ada juga seorang ibu yang usianya hampir sama dengan bapak
tadi, tapi lebih muda sih, sekitar 68 tahun. Namun, ibu tersebut mendapatkan
obat-obat jantung yang begitu banyak. Beliau diantar oleh anaknya. Setelah aku
menjelaskan tentang obat-obatnya yang sudah rutin beliau pakai, ibu tersebut
tersenyum begitu ramah dan antusias sambil menyalamiku dan mendo’akanku.
Subhanallah.. Berkah Allah ada dimana-mana ya.. Alhamdulillah bukan
bapak-bapak, jadi aku kan bisa menggenggam tangan ibu tersebut dengan begitu
erat ..
Sekarang berlanjut pada kesimpulan.. Meskipun setiap hari kita melakukan rutinitas
yang mungkin sama dari hari ke hari, tapi insya Allah ada hal baru yang kita
peroleh setiap harinya. Dan itulah yang memberi perbedaan dari satu hari ke
hari lain. Ada tarbiyah baru yang Allah berikan untuk kita setiap saat. Seperti
shalat yang kita lakukan. Jika itu hanyalah rutinitas semata, maka bisa jadi
kita akan kehilangan hakikat dari shalat tersebut. Kehilangan makna, karena ia
hanya sebatas pemenuhan kewajiban saja. Dan akan sangat merugi jika seperti
itu.
Seperti langit sore
yang kutatap setiap senja
Tak pernah ada rasa
bosan melihat lukisanNya itu
Selalu berbeda
keindahannya
Meski mungkin ia
adalah langit senja yang sama yang kutatap kemarin
-Bersegeralah, karena waktu takkan menantimu-
-Bergeraklah, karena diam berarti kematian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar